0

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Juarai Kompetisi Essay Nasional

Imam Sopyan, mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga, berhasil menjadi juara pertama pada kompetisi essay nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian dan Pengamalan Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Imam Sopyan berhasil menyisihkan lima puluh peserta lainnya dari berbagai universitas di Indonesia. Kompetisi ini diselenggarakan dalam dua tahap seleksi, yaitu seleksi naskah essay dan seleksi presentasi. Dalam seleksi naskah essay, Imam berhasil lolos ke dalam lima besar, bersama empat mahasiswa lainnya, yaitu Denny Iswanto (UIN Syarif Hidayatullah), Riki Purnomo (Universitas Muhammadiyyah Surakarta), Nur Rizqy Febriandika (Universitas Muhammadiyyah Surakarta), dan Erin Nuzulia Istiqomah (Universitas Indonesia). Kelima finalis tersebut diundang untuk mempresentasikan essaynya mereka di depan dua dewan juri yang berkompeten di bidangnya. Presentasi tersebut diselenggarakan di Ruang Sidang I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) pada 2 November 2013.
Berdasarkan hasil penilaian dari dua dewan juri, presentasi Imam Sopyan dengan judul essay “Bergerak dari Kampus Menuju Bangsa Paripurna: Inteligensia Profetik dan Tanggung Jawab Sosio-Transedental Mahasiswa Islam” berhasil mengungguli finalis lainnya. Imam Sopyan mendapatkan total poin 400 dari Juri I dan 380 dari Juri II (780 poin). Ia unggul 10 poin dari Juara II, Denny Iswanto, yang mengumpulkan poin 770. Juara II ditempati oleh Erin Nuzulia Istiqomah dengan total poin 760.
Dalam essaynya, Imam Sopyan menggagas urgensi berbagai organisasi mahasiswa, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyyah), dan yang lainnya untuk menjadi ‘pabrik’ para pemimpin umat dan bangsa. Dengan menelusuri jejak sejarah perjuangan kemerdekaaan bangsa Indonesia, mulai dari Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studentent Islami Studie Club (SIS) pada awal abad 20. Imam Sopyan optimis bahwa hanya mahasiswa yang merapatkan diri dalam barisan organisasi mahasiswalah yang kelak mampu menjadi agen perubahan (agent of change) dalam konteks keumatan dan kebangsaan. Atas prestasinya ini, Imam Sopyan berhak atas Piala Tetap Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) dan uang pembinaan sebesar 1 juta rupiah. (**Din Humas*)

0

perihal hewan qurban

Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu‘anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad shohih. Lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adha lebih utama daripada sedekah yang senilai dengan harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Di samping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat. Ada yang mengatakan hukumnya wajib bagi orang yang berkecukupan dan ada pula yang mengatakan hukumnya sunnah mu’akkad (ditekankan).Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan ini dengan menasehatkan, “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul bayan, 1120).

Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Bukhari 1374 & Muslim 1010).

Hewan Yang Boleh Digunakan Untuk Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yang terdiri dari onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, ”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih. Lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B… karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan, “Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). 

Berdasarkan hadits ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan, “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.”

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” maksudnya adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang, dst.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, ”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.

Arisan Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan untuk qurban adalah hutang untuk qurban. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibnu Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Jika ada yang memiliki hutang maka selayaknya dia mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. 

Urunan Qurban Satu Sekolahan

Terdapat satu tradisi di beberapa sekolah di negeri kita, ketika iedul adha tiba sebagian mereka menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentusebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban, alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu, kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.

Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullah shallalahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih) 

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.    Hewan    Umur minimal
1.    Onta    5 tahun
2.    Sapi    2 tahun
3.    Kambing Jawa    1 tahun
4.    Domba    6 bulan (domba jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

a) Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4:
• Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. Ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
• Sakit dan tampak jelas sakitnya
• Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
• Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

b) Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:
• Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
• Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

c) Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Hewan yang disukai dan lebih utama untuk diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, ”Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan). 

Di antara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)

Larangan memperjual-belikan hasil sembelihan

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut: Dari Abu hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan).

Tentang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
• Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
• Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri, “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Hakim (baca: hadis di atas). (Fiqh Syafi’i 2/311).
• Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan mengupah jagal dengan bagian hewan sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, ”Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379).

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, ”Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin ….” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibnu Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri, “Karena mengupah jagal semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).

Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah kulit hewan qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya.
0

NAMA-NAMA FAKULTAS

0

Asbab al-Nuzul dalam Penafsiran Alquran

 oleh Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.



Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa orang yang mengatakan bahwa Asbab Nuzul itu tidak penting dalam rangka pemahaman ayat-ayat Alquran adalah merupakan pandangan yang salah.[1] Tetapi para mufassir justru sangat memperhatikan Asbab al-Nuzul, sehingga ada yang mengkhususkan karya-­karyanya dalam bidang itu yaitu antara lain Ali bin al-Madiniy Syek al-Bukhari, al-Mahidi, al-Sayuthi dan lain-lain. Karena dengan memahami Asbab al Nuzul akan berpengaruh besar dalam memahami kandungan ayat.
Dalam tulisan  ini difokuskan tentang apa itu Asbab al-Nuzul dan bagaimana Asbab al-Nuzul itu. Dalam analisa dipakai tata pikir “reflektif-­fungsional”, dan sebagai sumber data diambil dari berbagai kitab yang ada kaitannya dengan Asbab al-Nuzul.

B. PENGERTIAN ASBAB AL-NUZUL

Istilah Asbab al-Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab yang berarti sebab-sebab, dan al-Nuzul berarti turun. Apabila dikaitkan dengan al-Qur’an , maka asbab al-nuzul berarti sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Hal ini tidak berarti bahwa asbab al-nuzul berlaku sebagai sebab akibat. Artinya tanpa ada sebab, maka ayat tidak turun. Karena ayat al-Qur’an sendiri sudah ada di haderat Allah swt. Al­-Sayuthi[2] mengemukakan bahwa asbab al-nuzul ialah sesuatu yang pada hari-hari terjadinya ayat al-Qur’an diturunkan. Maksud “sesuatu” ialah peristiwa-peristiwa yang pada umumnya berupa peristiwa perseorangan yang terjadi di zaman Nabi, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Dari definisi itu tergambar bahwa belum adanya kaitan antara latar belakang turunnya ayat dengan kandungan ayat yang mengomentarinya. Menurut al-Zarqani[3] bahwa asbab al­nuzul ialah sesuatu yang pada hari-hari terjadinya satu ayat atau beberapa ayat al-­Qur’an turun untuk membicarakannya atau menjelaskannya. Dari definisi tersebut tergambar bahwa dalam asbab al-nuzul ada gambaran dari ayat untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat. Berarti kalau tidak ada peristiwa berarti ada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak ada asbab al-nuzulnya. Tentu hal ini menyulitkan pemahaman ayat.
Fazlur Rahman menjelaskan apa yang dikemukakan oleh Zarqany hanyalah merupakan asbab al-nuzul mikro, yang dalam penafsiran al-Qur’an harus dibantu dengan asbab al-nuzul makro, yaitu latar belakang yang berupa situasi sosio kultural religius masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan.[4] Yang senada dengan itu ialah al-Syatibi (tt.:347) bahwa asbab al-nuzul ialah situasi dan kondisi. Dengan demikian maka pengertian asbab-al-nuzul itu dapat dibagi dua. Pertama bahwa asbab al-nuzul ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang ayat atau ayat-ayat dan ayat tersebut mengomentari peristiwa itu. Definisi ini kita sebut Asbab al-Nuzul Khas. Maksud “menjelang” ialah sebagai peristiwa “singkat” menjelang turunnya ayat atau beberapa ayat. Biasanya ditandai dengan kata “al-fa”  atau dengan kata “bi sabab kadza.”
Dari definisi tersebut dapat kita ambil suatu pengertian bahwa ada sebagian ayat-ayat al­-Qur’an yang tidak ada asbab al-nuzulnya.
Kedua, bahwa asbab al-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi, yang ayat-ayat tersebut mengandung hukumnya atau maknanya dari peristiwa-peristiwa tersebut. Maksud “peristiwa-peristiwa di masa Nabi adalah peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau peristiwa yang terjadi jauh setelah Nabi wafat, atau peristiwa yang terjadi jauh sebelum Nabi lahir. Biasanya ditandai dengan kata “sabab fi kadza”   Definisi ini kita sebut saja asbab al­-nuzul `Am. Dari definisi ini semua ayat ada asbab al-nuzulnya. Karena seluruh wahyu yang turun pasti menyentuh salah satu aspek kehidupan pada masa Nabi. Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa telah dikenal sebagian dari kebiasaan sahabat dan tabi’in, apabila berkata: “nazalat hadzihi al-ayat fi kadza”, memberi makna ayat tersebut mengandung hukum ini, tidak karena “ini” sebab turunnya ayat.[5]
Ada beberapa hal yang pasti berkaitan dengan asbab al-nuzul yaitu (1) syakhsiyat al-nuzul ialah subyek yang pertama kali menjadi sasaran ayat, tetapi karena keumuman ungkapan al-Qur’an atau didorong oleh kesopanan, maka nama terang subyek nuzul tidak jelas, (2) mawathin al-nuzul yaitu tempat Rasulullah berada waktu ayat turun, (3) asbab al-nuzul [peristiwa yang mengiringi turunnya ayat] (4) haditsatun nuzul yakni pokok permasalahan. Di antara yang empat itu yang paling penting jadi pertimbangan ialah asbab al-nuzul. Kerena dengan mengetahui peristiwa itu akan mempermudah memahami kandungan ayat.
C. PENENTUAN ASBAB AL-NUZUL
Dalam mengumgkapkan asbab al-nuzul, para perawi bermacam-macam caranya. Ada yang mengatakannya secara tegas menyatakan bahwa suatu peristiwa tertentu menjadi sebab turunnya ayat. Ada yang tidak tegas tetapi menyebutkan dengan “fa” ta’qib (yang berarti kemudian). Ada yang mengatakannya bahwa Nabi ditanya, kemudian wahyu turun dan beliau memberi jawaban dengan turunnya wahyu itu. Dan di saat lain ada mengatakan bahwa suatu ayat diturunkan mengenai … Dan menyebutkan suatu peristiwa atau pengertian tertentu.[6]
Dan redaksi asbab an-nuzul tersebut bahwa redaksi yang pasti asbab an-nuzul ialah (1) hadatsa kadzaa (2) suila rasululullah saw ‘an kadzaa fanazalat al-ayah. Sedangkan redaksi yang mungkin asbab an-nuzul dan dimungkinkan pula kandungan ayat atau hukum adalah: (3) nazalat hadzihi al-ayah fii kadzaa (4) ahasabu hadzihi al-ayah nazalat fii kadzaa (5) Maa ahasabu hadzihi al-ayah nazalat illaa fii kadzaa.
Ungkapan yang pertama dan kedua merupakan sebab­-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan cara yang ketiga, keempat dan kelima adalah mengandung dua kemungkinan, yaitu (1) menjelaskan asbab al­-nuzul atau (2) menjelaskan kandungan hukum dalam ayat atau sebagai penafsiran.
Ulama tafsir menetapkan bahwa asbab al-nuzul Khas itu tidak boleh ditentukan dengan jalan ijtihad, tetap harus melalui riwayat yang shahih dari mereka yang mengalami atau mencarinya.[7] Dalam hal ini al Shabuni menjelaskan bahwa mereka itu ialah para sahabat Nabi, tabi’in dan orang-oarang lain yang memperoleh pengetahuan dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.[8]
Para sahabat Nabi adalah umat generasi pertama yang menyaksikan masa turunnya al-Qur’an dan merupakan kemestian jika di antara mereka banyak tahu tentang asbab al-nuzul. Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa asbab al-nuzul yang bersumber dari mereka dikategorikan sebagai hadis yang musnad[9] yaitu hadis yang sanadnya sampai kepada Nabi.
Sedangkan tabi’in merupakan periode umar Islam kedua yang belajar kepada para sahabat dan tidak menyaksikan masa turunnya al-Qur’an. Karenanya riwayat asbab al-nuzul dari mereka berkedudukan sebagai hadis mursal[10] yaitu hadis yang gugur di akhir sanadnya yakni seseorang setelah tabi’in. Sebab mereka itu meriwayatkan secara langsung peristiwa yang terjadi di masa Nabi tanpa menyebutkan orang pertama yang menyaksikan masa turunnya al-Qur’an itu yaitu para sahabat.
Al-Suyuthi menjelaskan bahwa riwayat tabi’in baru dapat diterima apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) sanadnya shahih sampai kepada tabi’in yang menjadi sumber peristiwanya mengenai asbab al-nuzul, (2) dia termasuk ulama tafsir yang belajar kepada sahabat seperti Mujahid, Ikrimah dan Said bin Zubair, (3) riwayat itu harus dikuatkan oleh hadis mursal lainnya.[11] Dengan demikian bahwa setiap riwayat asbab al-nuzul yang diterima dari sahabat dapat diterima sebagai pegangan, namun kalau yang datang dari tabi’in atau masa sesudahnya harus melalui seleksi yang amat ketat.
D. FUNGSI ASBAB AL-NUZUL
Dalam berbagai penafsiran al-Qur’an timbul berbagai kecurangan, ada yang meninggalkan asbab al-nuzul yang menafsirkan al-Qur’an berdasar pada kata-­kata, atau dengan ilmu-ilmu tertentu. Al-Wahidi dan para ulama lainnya menolak anggapan ini. Bahkan al-Wahidi mengatakan bahwa tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan turunnya.[12] Al-Shabuni lebih tegas lagi, ia mengatakan bahwa menguatkan kepentingan mengetahui asbab al-nuzul untuk dapat memahami makna-makna ayat al-Qur’an, bahkan sebagian ayat-ayat tidak mungkin dapat dipahami atau mengetahui hukum-hukum yang dikandungnya tanpa dengan sinaran asbab al-nuzul.[13] Adapun fungsi-fungsi asbab al-nuzul menurut al-Zarqani[14] adalah:
  1. 1. Membantu memahami ayat dan menghilangkan kesulitan yang mungkin timbul.
Seperi kasus Marwan bin Hakam (salah seorang Khalifah Bani Umayyah) yang mengalami kesulitan dalam memahami firman Allah Surat Ali Imran (3): 188­:
لا تحسبن الذين يفرحون بما أتوا ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب أليم
Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih.

Marwan mengatakan, jika orang yang senang dengan apa yang telah diberikannya dan ingin dipuji dengan apa yang tidak dilakukannya akan siksa, maka kita semua akan disiksa. Dia tetap dalam kesulitannya itu sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang Yahudi. Asbab al-nuzulnya: Ketika Nabi SAW menanyakan sesuatu kepada mereka (Yahudi), mereka merahasiakan jawabannya, dan memberi jawaban yang tidak sebenarnya. Setelah mereka memperlihatkan keinginan untuk memperoleh pujian dari beliau atas jawaban yang mereka berikan. Mereka merasa gembira dengan menyembunyikan jawaban yang sebenarnya. Ibnu Abbas kemudian membacakan ayat di atas.
Contoh lainnya, sekiranya tidak ada penjelasan mengenai asbab al-nuzul, mungkin sampai sekarang ini masih saja ada orang yang menghalalkan arak atau minuman keras lainnya yang memabukkan berdasarkan bunyi harfiah surat Al­Maidah (5):93 :
ليس على الذين آمنوا وعملوا الصالحات جناح فيما طعموا إذا ما اتقوا وآمنوا وعملوا الصالحات ثم اتقوا وآمنوا ثم اتقوا وأحسنوا والله يحب المحسنين

Tidaklah ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Diriwayatkan, Usman bin Madzghun dan Amr bin Ma’ad, keduanya mengatakan: Khamar adalah mubah (halal). Mereka menggunakan ayat tersebut di atas sebagai dalil. Mereka tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang melarang minuman keras. Padahal yang dimaksud oleh ayat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hasan: Setelah ayat yang mengharamkan khamar turun, mereka bertanya: ”Lantas bagaimanakah teman-teman kita yang telah mati dalam keadaan perutnya berisi khamr, sedangkan Allah telah memberi tahu bahwa khamr itu perbuatan keji dan dosa.  “Tak lama kemudian turunlah ayat di atas.” [15]
  1. 2. Menghindari kesan adanya pembatasan secara mutlak dalam suatu ayat.
Sebagai contoh adalah pemahaman surat Al-An’am (6): 145:

قل لا أجد في ما أوحي إلي محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير فإنه رجس أو فسقا أهل لغير الله به فمن اضطر غير باغ ولا عاد فإن ربك غفور رحيم

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu (1) bangkai, atau (2) darah yang mengalir atau (3) daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau (4) binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampawi batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Menurut lahir ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan Allah hanyalah bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan hewan yang disembelih karena selain Allah. Tetapi al-Syafi’i berpendapat bahwa ayat itu tidak bermaksud memberi pembatasan yang mutlak seperti itu. Dia berpendapat bahwa ayat itu diturunkan karena orang-orang kafir mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mereka menghalalkan apa yang diharamkanNya, untuk menunjukkan keinginan mereka kepada Allah dan RasulNya. Kemudian ayat itu diturunkan dengan memberi pembatasan formal sebagai jawaban yang tegas terhadap sikap ingkar mereka itu.
  1. 3. Mengetahui hikmah yang terkandung dalam hukum yang disyariatkan oleh agama.
Bagi yang berpendapat bahwa yang dipertimbangkan dalam memberlakukan ketentuan ayat dalam kekhususan sebab bukan keumuman ayat-ayatnya, sebab al-­nuzul berguna untuk mengkhususkan berlakunya ketentuan ayat tersebut pada orang yang menjadi latar belakang turunnya. Seperti ayat-ayat dhihar di permulaan surat Al-Mujadalah (58):2
الذين يظاهرون منكم من نسائهم ما هن أمهاتهم إن أمهاتهم إلا اللائي ولدنهم وإنهم ليقولون منكرا من القول وزورا وإن الله لعفو غفور
Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Ayat-ayat itu diturunkan karena Aus bin al-Shamit mendhihar interinya, Khaulah binti Hakim. Menurut pendapat ini, ketentuan ­ayat itu hanya berlaku bagi dua orang suami istri itu saja. Sedang hukum bagi lainnya ditentukan dengan dalil lain dengan jalan qiyas atau jalan lain.
  1. 4. Untuk mengetahui bahwa ketentuan ayat tetap berlaku bagi orang yang menjadi latar belakang turunnya, meskipun ayat itu ada pentakhsisnya.
Hal ini karena adanya ijma’ bahwa hukum yamg ditetapkan atas orang yang menjadi sebab ditetapkan hukum itu, tetap berlaku baginya. Dan apabila ada pentakhsis, maka pentakhsisan itu berlaku bagi selainnya.
  1. 5. Mengetahui secara pasti orang yang menjadi latar belakang turunnya ayat, sehingga tidak merasa sulit dan salah sangka dapat terhindari.
Seperti, `Aisyah membantah Marwan yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abu Bakar (saudara istri Nabi) adalah orang yang menjadi sebab turunnya firman Allah dalam surat Al-Ahqaaf (46):17
والذي قال لوالديه أف لكما أتعدانني أن أخرج وقد خلت القرون من قبلي وهما يستغيثان الله ويلك آمن إن وعد الله حق فيقول ما هذا إلا أساطير الأولين

Dan orang-orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kapadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku ? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Lalu dia berkata: Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu kala.

Dan dia mengatakan: “Demi Allah, bukanlah dia yang berkata begitu. Jika aku mau menyebutkannya, tentu aku bisa menyebutkannya”
  1. 6. Memudahkan menghafal dan memahami wahyu serta memantapkan di dalam dada orang yang mendengar ayat, jika ia mengetahui asbab al-nuzulnya.
Hal itu karena adanya hubungan sebab dengan akibat, ketentuan hukum dengan peristiwa, peristiwa dengan orang, dan waktu dengan tempat. Semua itu menyebabkan terkesannya segala hal dalam hati. Dari berbagai fungsi asbab al-nuzul yang dikemukakan oleh al-Zarqani tersebut hanya dua yang berhubungan langsung dengan penafsiran al-Qur’an, yaitu yang pertama dan ketiga. Sedangkan yang lainnya berhubungan dengan jiwa yang mengetahui asbab al-nuzul, penerapan ayat dan pelaku peristiwa asbab al-nuzul.

Para ulama ushul berbeda pendapat tentang, apakah yang dijadikan pegangan keumuman kata-kata atau kekhususan sebab? Artinya apabila ada sesuatu kejadian turun ayat tentang itu, apakah hukum ayat ini terbatas pada kejadian itu, atau seseorang yang karena diturunkan ayat-atau hukum itu meliputi semua umat manusia?[16] Mayoritas ulama berpendapat bahwa:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Yang menjadi pegangan ialah ungkapan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab.  Inilah pendapat yang shahih dan di lain fihak ada yang berpendapat bahwa[17] :
العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
“Yang menjadi pegangan ialah ungkapan kekhususan sebab bukan keumaman lafadz”

Dalam penggunaan kaidah di atas, para ulama memberi argumen, yaitu
  1. Hanya kata-kata yang digunakan Syari’ (Allah dan RasulNya) sajalah yang menjadi hujjah dan dalil, bukan pernyataan dan sebab nuzulnya kata-kata itu
  2. Pada dasarnya kata-kata itu harus diartikan menurut arti yang bisa langsung dimengerti oleh kata-kata itu, selama tidak ada sesuatu yang mengalihkan dari arti itu. Kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ada yang membelokkannya dari arti umumnya, karenanya harus tetap diartikan menurut arti umumnya itu
  3. Para sahabat dan para mujtahid di sepanjang masa dan di segala tempat hanya berpegang pada keumuman kata-kata, tanpa menggunakan qiyas atau dalil lainnya.[18]
Kalau kita berangkat dari asbab al-nuzul dalam arti `am, maka semua ayat ada asbab al-nuzulnya. Kalau istilah Fazlur Rahman disebut harus dipahami “konteks historis” setiap memahami dan menafsirkannya. Dengan demikian masa Nabi itu sudah merupakan miniatur dari kehidupan di alam semesta ini, sedangkan kalau kita melihat dari pengertian asbab al-nuzulnya. Di samping itu pula pengetahuan asbab al-nuzul dalam penafsiran al-Qur’an bagaimanapun besar artinya, bahkan ada sebagian ayat yang secara mutlak harus mengetahui asbab al-nuzulnya.


E. KAIDAH-KAIDAH: RIWAYAT ASBAB AL-NUZUL

Kenyataannya bahwa dalam periwayatan asbab al-nuzul ada beberapa riwayat yang menyebutkan peristiwa-peristiwa yang berbeda tetapi dikatakan sama menjadi asbab al-nuzul dalam arti khas. Hal ini membawa perbedaan pendapat.
Pertama, yang memandangnya sebagai kerancuan dalam riwayat-riwayat asbab al-nuzul, kedua, yang menganggapnya sebagai hal biasa dan mencarikan jalan keluar. Yang berpendapat pertama, seperti Fazlur Rahman dan al­-Thabathaba’i. Faz1ur[19] mengatakan bahwa literatur tentang turunnya wahyu sering bertentangan dan rancu. Al-thabathaba’i[20] mengatakan bahwa dalam riwayat-riwayat asbab al-nuzul terdapat banyak pertentangan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dikompromikan dengan jalan apapun.
Sedangkan yang berpandangan kedua, seperti al-Zarkasyi dan al-Suyuthi dari abad pertengahan dan al-Zarkasyi dan Subh Shalih dari ulama abad modern. Dalam hal ini mereka mentarjihkan atau mengkompromikan berbagai riwayat yang berbeda-beda itu.
Al-Zarkasyi [21] menyebutkan kaidah-kaidah tersebut, yaitu:

  1. 1. Jika ada dua riwayat yang satu shahih dan yang lainnya dha’if, maka yang digunakan ialah yang shahih dan yang dha’if ditolak.
Seperti ada dua riwayat asbab al-nuzul turunnya QS Dhuha  (93): 1-5:
والضحى والليل إذا سجى ما ودعك ربك وما قلى وللآخرة خير لك من الأولى ولسوف يعطيك ربك فترضى

Demi matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia Nya kepadamu, lalu kamu menjadi puas.

Riwayat pertama dari Imam Bukhari dan Muslim dari Jundub, pada suatu saat Rasulullah merasa gelisah sehingga beliau tidak bersembahyang malam (shalat nafilah atau shalat sunah) selama satu atau dua malam. Hal itu diketahui oleh seorang perempuan, lalu ia berkata pada beliau: “Hai Muhammad, kurasa temanmu (syaithanaka) telah meninggalkan dirimu.” Lalu turunlah ayat tersebut di atas.
Riwayat kedua, dari riwayat at-Thabrani, Ibnu As Syaibah dan al-Wahidi dari Khaulah, pelayan Rasul. Bahwa ada seekor anak anjing yang masuk kedalam rumah beliau dan mati di bawah tempat tidur, kemudian selama empat hari tidak turun wahyu. Maka Rasul bersabda: “Hai Khaulah, apa yang terjadi di rumah ini, Jibril tidak datang kepadaku. Aku berkata dalam hati, coba kubersihkan rumah dan menyapunya. Aku mengambil sapu dan membersihkan kolong tempat tidur dan menemukan anak anjing itu. Rasulullah SAW melihatnya dan terperanjat karena jijik. Sejak itu tiap beliau di tempat tersebut tampak gelisah. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut di atas.
Ibnu Hajar berpendapat bahwa cerita terlambatnya kedatangan Jibril karena adanya anjing itu masyhur. Tapi janggal kalau menjadi sebab turunnya ayat di atas itu bahkan merupakan riwayat yang syaz dan dibantah oleh riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas.[22] Subh Shalih berpendapat bahwa riwayat yang kedua terasa mengandung kelemahan, susunan kalimat maupun maknanya terasa janggal dan aneh.[23]
  1. 2. Dua riwayat sama-sama shahih dan salah satunya lebih rajih dari pada yang lain, maka yang dipegangi adalah riwayat yang rajih dan yang marjuh ditinggalkan.
Hal-hal yang bisa menjadikan satu riwayat lebih rajih antara lain ialah nilainya yang lebih shahih dan salah satu dari dua riwayat itu perawinya menyaksikan jalannya peristiwa dan yang lain tidak. Sebagai contoh dua asbab al­-nuzul tentang turunnya firman Allah surat Al-Isra’ (17):85:
ويسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إلا قليلا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.

Riwayat pertama, dari Imam Bukhari yang mengambil dari Ibnu Mas’ud berkata: Saya berjalan-jalan bersama Nabi SAW di Madinah. Kami beristirahat dan Nabi duduk bersandar pada pohon kurma. Sekelompok orang Yahudi lewat dan meminta beliau menjelaskan masalah roh. Maka beliau berdiri dan mengangkat kepala. Saya tahu bahwa wahyu sedang diturunkan kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat tersebut di atas.
Riwayat kedua dari Imam Turmudzi dan dia menshahihkannya dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sekelompok orang-orang musyrikin Quraisy berkata kepada sekelompok orang-orang Yahudi. Berikanlah sesuatu kepada kami untuk kami tanyakan kepada orang itu (Rasulullah). Orang-orang Yahudi itu menjawab: Tanyakanlah kepadanya soal roh. Orang-orang Quraisy itu lalu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian turunlah firman di atas. Menurut Ibnu Katsir, kedua riwayat ini dapat dikompromikan. Keduanya sama­-sama menjelaskan asbab al-nuzul, tapi berhubung jarak waktunya berjauhan, maka bentuk komprominya adalah bahwa ayat itu diturunkan dua kali. Sedang menurut al-Suyuthi bahwa riwayat yang pertama lebih rajih, sebab perawi Ibnu Mas’ud menyaksikan jalannya peristiwa, sedangkan perawi riwayat kedua (Ibnu Abbas) tidak menyaksikannya.[24] Bandingkan dengan pendapat al-Shabuni.[25] Subh Shalih menambahkan bahwa Jumhur Ulama lebih mengutamakan hadis-­hadis Shahih Bukhari dari pada hadis-hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Turmudzi.[26]
  1. 3. Dua riwayat sama-sama shahih dan tidak dapat dirajihkan salah satunya, tetapi dapat dikompromikan dengan jalan bahwa dua riwayat itu sama-sama menjelaskan asbab al-nuzul dan ayat tersebut diturunkan setelah dua peristiwa yang disebutkan terjadi.
Seperti dua riwayat asbab al-nuzul bagi firman Allah surat Ali Imran (3) : 77:
إن الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلا أولئك لا خلاق لهم في الآخرة ولا يكلمهم الله ولا ينظر إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم

Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.

Riwayat pertama, Imam Bukhari dan Muslim dari Asy’ats yang mengatakan bahwa ia bersengketa dengan seorang Yahudi mengenai sebidang tanah. Setelah perkara diajukan kepada Nabi SAW dan beliau menanyakan, apakah Asy’ats mempunyai bukti dan dijawab tidak, maka beliau menyuruh lawannya untuk bersumpah. Tapi Asy’ats keberatan. Dia beralasan, bila lawannya itu bersumpah, maka sumpahnya adalah sumpah palsu dan akibatnya hak milik Asy’ats bisa hilang. Kemudian Allah menurunkan ayat di atas.
Riwayat kedua, yaitu Imam Bukhari dari Abdullah bin Abi Auf yang mengatakan bahwa ada orang yang memegang barang milik orang lain di pasar. Dia bersumpah bahwa barang itu telah diberikan pemiliknya kepadanya. Dia mengaku demikian untuk merugikan seorang muslim. Kemudian turunlah ayat di atas.

  1. 4. Dua riwayat sama-sama shahih, tetapi tidak ada perajihnya. Dan berhubung peristiwa masing-masing berjauhan waktunya, maka kita dapat menjadikan asbab al-nuzul secara bersama-sama. Oleh karena itu diputuskan bahwa ayat itu diturunkan berulang-ulang setelah peritiwa-peristiwa yang disebutkan terjadi.
Seperti asbab al-nuzul firman Allah surat An-Nahl (16): 126-128:
وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصابرين واصبر وما صبرك إلا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك في ضيق مما يمكرون إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون
Dan jika kamu memberi balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang benar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.

Riwayat pertama, yaitu riwayat Imam Baihaqy dan al-Bazzar dari Abu Hurairah yang menceriterakan, ketika Hamzah ditemukan wafat sebagai syahid dalam perang Uhud. Nabi berdiri di depan jenazahnya dalam keadaan jenazahnya sudah dicincang dan di saat itu beliau berucap, akan membalas dengan tujuh puluh orang kafir. Kemudian Jibril turun membawa ayat di atas.
Riwayat kedua yaitu riwayat Imam Turmudzi dan al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab. Dia menceriterakan setelah dalam perang Uhud ada 64 sahabat Anshar dan 6 Muhajirin yang gugur, di antaranya adalah Hamzah, maka para sahabat bersumpah untuk membalas dendam. Para sahabat Anshar berkata: Jika pada suatu saat kami menang, maka akan kami hancurkan mereka. Kemudian setelah Makkah jatuh ke tangan muslimin, Allah menurunkan ayat di atas. Kedua riwayat di atas, yang pertama menyebutkan bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan di perang Uhud dan yang kedua berhubungan dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Karena itu banyak ulama mengatakan bahwa ayat-ayat itu diturunkan dua kali setelah dua peristiwa di atas. Bahkan Ibnu Hashar menyatakan bahwa ayat-ayat itu diturunkan tiga kali, di Makkah bersama-sama dengan ayat-ayat surat An-Nahl yang lain yang diturunkan di kota ini, di Uhud setelah perang dan pada waktu penaklukan kota Makkah untuk memberikan peringatan kepada hamba-hambanya.[27]28
Empat cara itulah yang ditempuh oleh mufassir yang memakai asbab al­nuzul sebagai hal yang harus ada dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang sedang ditafsirkan. Perlu ditegaskan bahwa dalam pemakaian asbab al-nuzul sebenarnya bukanlah harfiah asbab al-nuzulnya yang dijadikan pertimbangan, tetapi harus dilihat nilai yang terkandung di dalamnya.
F. KESIMPULAN
Asbab al-nuzul harus tetap ada dalam penafsiran al-Qur’an, baik asbab al­nuzul dalam pengertian khas maupun dalam pengertian `am. Pendapat tentang asbab al-nuzul tidak dapat diterima dengan ijtihad atau pemikiran mufassir, tetapi haruslah melalui riwayat yang ketat dan shahih.
Asbab al-nuzul sangat membantu mufassir atau yang berkecimpung dalam al-Qur’an untuk dapat mempermudah dalam berbagai hal yang berhubungan dengan al-Qur’an. Namun tidaklah setiap ayat al-Qur’an ada asbab al-nuzul dalam pengertian khas.
Wallahu A’lam Bishshawab
0

ALQURAN DAN WAHYU

Oleh: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.

A.  PENGERTIAN WAHYU DAN ALQURAN
Al-Wahy atau wahyu adalah kata masdar (infinitif); dan  kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan wahyu ialah pemberi­tahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Menurut ilmu bahasa, wahyu ialah : isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakna surat, tulisan, sebagaimana bermakna pula, segala yang kita sampaikan kepada orang lain untuk diketahuinya.
Wahyu itu ialah : yang dibisikkan kedalam sukma, diilhamkan dan isyarat cepat yang lebih mirip kepada dirahasiakan daripada dilahirkan.
Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi:
1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
وأوحينا إلى أم موسى أن أرضعيه…
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia… (al­
Qasas [28]:7).
Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah:
وأوحى ربك إلى النحل أن اتخذي من الجبال بيوتا ومن الشجر ومما يعرشون
Dan Tuhanmu telah mewahyukan (ilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah sa­rang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia.  (an-Nahl [16]:68).
  1. Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an:
فخرج على قومه من المحراب فأوحى إليهم أن سبحوا بكرة وعشيا
“Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka: ‘Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. “‘
(Maryam [19]:11).
  1. Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
…وإن الشياطين ليوحون إلى أوليآئهم ليجادلوكم وإن أطعتموهم إنكم لمشركون
“Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan­kawannya agar mereka membantah kamu.” (al-An`am [6]:121).
وكذلك جعلنا لكل نبي عدوا شياطين الإنس والجن يوحي بعضهم إلى بعض زخرف القول غرورا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia dan dari jenis jin; sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.” (al-An’am [61:112).
  1. Berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
إذ يوحي ربك إلى الملآئكة أني معكم فثبتوا الذين آمنوا
"Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman. "' (al-Anfal [8]:12).
Sedangkan menurut istilah, wahyu ialah : sebutan bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara yang cepat dari Allah kedalam dada Nabi-nabi-Nya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadz Alquran. Dapat diartikan juga bahwa wahyu Allah kepada nabi-nabi-Nya adalah : pengetahuan-pengetahuan yang Allah tuangkan ke dalam jiwa Nabi, untuk mereka sampaikan kepada manusia untuk menunjuki dan memperbaiki mereka di dalam dunia serta membahagiakan mereka diakhirat.
Oleh sebab itu para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pen­dapat:
  1. Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah de­ngan lafalnya yang khusus.
  2. Bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz.
  3. Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad s.a.w.
Pendapat pertama itulah yang benar; dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadis Nawas bin Sam’an yakni:
Hadis dari Nawas bin Sam’an r.a. yang mengatakan: Rasulullah s.a.w. berkata: Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun tergetarlah dengan getaran atau dia mengatakan dengan goncangan yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘azza wa Jalla. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka di antara mereka itu adalah Jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang dikehendakiNya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu: Apakah yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai Jibril? Jibril menjawab: Dia mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah azza wa jalla. (HR. Thabrani).
b. Alquran
Alquran menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr.Subkhi Al-Shalih berarti “bacaan“, asal katanya adalah “qara ‘a “. Kata A1­Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu “maqru “‘ (yang dibaca).
Sedangkan menurut istilah Alquran ialah : “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah, dimulai dari al-Fatihah dan diakhir dengan al-Nas. Dengan demikian kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidaklah dinamakan Alquran.
B. CARA ALQURAN DIWAHYUKAN
Nabi Muhammad SAW dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam­macam cara dan keadaan, diantaranya
  1. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi dengan rupanya yang asli.  Hal ini tersebut dalam Alquran.
ولقد رآه نزلة أخرى  عند سدرة المنتهى
“Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya (Jibril) pada kali yang lain. Ketika (ia berada) di Sidratul Muntaha “. (QS. an-Najm :13-14)
  1. Malaikat memasukkan wahyu kedalam hatinya. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan :
وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء إنه علي حكيم
 Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”. (QSAsy­Syuu’ra : 51)
3. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
4. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincing lonceng. Cara yang seperti inilah yang amat berat yang dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya bercucuran keringat, terkadang disaat beliau mengendarai unta, untanya berhenti dan terduduk karena merasakan beban yang teramat berat.
5. Allah berbicara kepada Nabi dari belakang hijab, baik dalam keadaan nabi yang sadar (jaga), sebagaimana sewaktu beliau Isra’, ataupun dalam keadaan tidur seperti yang diriwayatkan oleh Turmudzi melalui sebuah hadits dari Muadz.
6. Melalui mimpi yang benar.
7. Israfil turun membawa beberapa kalimat wahyu, sebelum Jibril datang membawa wahyu Alquran.
8. Segolongan ahli ilmu berpendapat, bahwa ada lagi satu cara wahyu itu diturunkan, yaitu Allah berbicara langsung dengan Nabi dengan bertatap muka tanpa hijab. Adapun pendapat ini berdasarkan faham bahwa Nabi Muhammad dapat melihat Allah dengan mata kepalnya. Hal inilah yang kemudian banyak diperselisihkan oleh para ulama. Karena `Aisyah menolak pendapat bahwa Rasulullah SAW dapat melihat Allah
C. HIKMAH ALQURAN  DITURUNKAN BERANGSUR-ANGSUR.
Dari beberapa sumber yang ada menyebutkan bahwa Alquran itu
diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari. Selama 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Turunnya Alquran secara berangsur-angsur sudah barang tentu ada hikmah yang terkandung dibalik semua itu. Hikmah turunnya Alquran secara berangsur-angsur diantaranya.
1. Agar lebih mudah dimengerti dan diamalkan. Apabila A1-Qur’an yang berisikan perintah dan larangan diturunkan sekaligus, maka niscaya manusia akan merasa kesulitan untuk mengamalkannya. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.a.
2. Turunnya suatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Hal ini tentu akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh didalam hati manusia. Wahyu itu apabila diturunkan tiap-tiap waktu kejadian, maka teguhlah hati orang yang menerimanya.
3. Memudahkan proses penghafalannya.
4. Diantara ayat -ayat yang turun, ada yang merupakan jawawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan atau penolakan terhadap suatu pendapat atau perbuatan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a., hal ini tidak mungkin terjadi jikalau Alquran diturunkan sekaligus.
5. Diantara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh sesuai dengan kemaslahatan. Hal ini tidak dapat dilakukan sekiranya Alquran diturunkan sekaligus.

D. KEDUDUKAN ALQURAN
Apabila kita memandang Alquran dalam konteks dasar-dasar keislaman, maka kedudukan A1-Qur’an merupakan sumber utama (sumber dari segala sumber) atau pokok-pokok asas bagi syari’at Islam. Kemudian dari Alquran inilah diambil segala pokok-pokok syari’at dan cabang-cabangnya. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa Alquran merupakan dasar kully bagi syari’at Islam dan pengumpul segala hukum.
Oleh karena Alquran dasar-dasar pokok, maka dalam hal memahaminya memerlukan tafshil (perincian). Oleh karena itu Alquran memerlukan hadits dalam hal penjelasannya. Maka dikenallah bahwa hadits (sunnah) merupakan sumber yang kedua dalam Islam setelah Alquran.

E. NAMA-NAMA ALQURAN
Alquran mempunyai beberapa nama yang kesemuanya menun­jukkan kedudukannya yang tinggi dan luhur, dan secara mutlak Al­quran adalah kitab samawy yang paling mulia. Karenanya dinamai­lah kitab samawy itu dengan: Alquran, Al-Furqan, At-Tanzil, Ada­Dzikr, Al-Kitab dsb. Seperti halnya Allah juga telah memberi sifat tentang Alquran sifat-sifat yang luhur antara lain; nur/cahaya, hudan (petunjuk), rahmat, syifa’ (obat), mau’izhah (nasehat), `aziz (mulia), mubarak (yang diberkahi), basyir (pembawa khabar baik), nadzir (pembawa khabar buruk) dan sifat-sifat lain yang menunjuk­kan kebesaran dan kesuciannya.
Alasan penamaan:
  1. Alasan dinamainya dengan Al Qur’an ialah karena banyak (kata­-kata Alquran) terdapat dalam ayat, antara lain firman Allah s w.t.: Qaaf: 1:
ق والقرآن المجيد
Dan Firman-Nya al-Isra’ :9
إن هذا القرآن يهدي للتي هي أقوم

Sesungguhnya Alquran ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus.    (Al-Isra: ayat 9).­
  1. Dinamakan Al-Furqan sebagaimana tertera dalam firman Allah s. w, t.:
تبارك الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيرا
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Alquran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (al-Furqan: 1)
  1. Dinakamakan at-Tanzil sebagaimana tertera dalam firman Allah asy-Suara: 192-193):
وإنه لتنزيل رب العالمين  نزل به الروح الأمين
Dan sesungguhnya Al Qur’an (al-Tanzil) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril).
  1. Dinamakan Adz-Dzikr sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr: 9:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an (adz-Dzikr), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
  1. Dinamakan dengan Al-Kitab sebagaimana tertera dalam firman Allah QS. Ad-Dukhan: 1-3:
حم  والكتاب المبين  إنا أنزلناه في ليلة مباركة إنا كنا منذرين
Haa Miim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Adapun mengenai sifat-sifatnya sungguh tertera dalam sejumlah ayat-ayat Alquran, bahkan sedikit sekali (jarang) surat-surat dalam Alquran yang tidak menyebutkan sifat-sifat yang indah dan mulia terhadap kitab yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha Mulia yang dijadikan mukjizat yang abadi bagi seorang Nabi yang terakhir. Sifat-sifat Alquran, antara lain disebutkan:
A. Alquran sebagai (1) Burhan dan (2) Nur (QS. An Nisa [4]: 174):
يا أيها الناس قد جاءكم برهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an).
B. Alquran sebagai (3) mau’idzah, (4) syifa’, (5) hudan dan (6) rahmat (QS. Yunus [10]: 57:
يا أيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين إلا خسارا
Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian. Al-Isra (17): 82.
ولو جعلناه قرآنا أعجميا لقالوا لولا فصلت آياته أأعجمي وعربي قل هو للذين آمنوا هدى وشفاء والذين لا يؤمنون في آذانهم وقر وهو عليهم عمى أولئك ينادون من مكان بعيد
Dan jika Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh”.
Kata “Alquran” adalah sama halnya dengan kata “Qira’at” adalah masdar dari kata “qara’a-qira’atan dan qur’anan”. Demikianlah menurut sebagian ulama dengan mengambil alasan Firman Allah QS. Al-Qiyamah: 17-18:
إن علينا جمعه وقرآنه  فإذا قرأناه فاتبع قرآنه
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah sele­sai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.(A1-Qiyamah ayat 17-18).
Pengertian “qur’anahu” di sini sama dengan “qira’atahu”. Maka lafazd “qur’an” menurut pendapat ini adalah musytak (pengambilan dari kata kerja). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa lafazh Alquran bukanlah musytak dari qara’a melainkan isim alam (nama sesuatu) bagi kitab yang mulia sebagaimana halnya nama Taurat dan Injil. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i (Lihat kitab “Mabahitsul Qur’an karangan Manna’ Al-Qaththan.
F. AYAT PERTAMA DAN TERAKHIR TURUNNYA
Permulaan turun AI-Qur’anul Karim adalah tanggal 17 Rama­dhan tahun ke 40 dari kelahiran Nabi s a w. yaitu dikala beliau se­dang bertahannuts (beribadah) di Gua Hira, dimana kala itu turun wahyu (Jibril Al-Amin) dengan membawa beberapa ayat Alquran. la (Jibril) menyekap Nabi ke dadanya lalu mele­paskannya (dan melakukan yang demikian itu berulang tiga kali), sambil mengatakan “iqra’ (bacalah)” pada setiap kalinya, dan Rasul s a w. menjawabnya “ma ana bi qaari (saya tidak bisa membaca)”. Pada dekapan yang ketiga kalinya Jibril membacakan:
اقرأ باسم ربك الذي خلق خلق الإنسان من علق اقرأ وربك الأكرم الذي علم بالقلم علم الإنسان ما لم يعلم
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Al-Alaq: 1-5.
Adapun ayat terakhir turun ialah QS. Al-Baqarah: 281:
واتقوا يوما ترجعون فيه إلى الله ثم توفى كل نفس ما كسبت وهم لا يظلمون
Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).
Ini adalah pendapat yang benar dan kuat menurut hasil seleksi para Ulama yang tokohnya As-Sayuthy. Pendapat ini dikutip dari seorang tokoh ummat, yaitu Abdullah bin Abbas yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari `Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata: “Ayat Alquran yang terakhir diturunkan.ialah ayat:
واتقوا يوما ترجعون فيه إلى الله
Dan Nabi setelah turun ayat itu hanya hidup 9 (sembilan hari) yang ke­mudian beliau wafat pada malam Senin tanggal 3 Robi’ul Aw­wal. Adapun pendapat sebagian Ulama yang mengatakan bahwa ayat Alquran yang terakhir diturunkan ialah firman Allah al-Maidah: 3:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan ni’mat-Ku kepadamu serta telah Ku- ridhai bagimu Islam itu sebagai agama.(Al-Maidah: ayat 3)
Ini adalah pendapat yang tidak benar, karena ayat tersebut di­turunkan kepada Rosul s a w. pada waktu beliau melaksanakan haji wada` di kala beliau wukuf di ‘Arafah, yang setelah itu beliau masih sempat hidup selama 81 (delapanpuluh satu) hari, dan sebelum beliau wafat turun sebuah ayat dari surat Al-Baqarah:
واتقوا يوما ترجعون فيه إلى الله
Maka itulah ayat yang terakhir diturunkan, bukan ayat pada surat Al-Maidah. Inilah pendapat yang benar, dan dengan turunnya ayat ini terputuslah wahyu, dan sekaligus sebagai akhir hubungan antara langit dengan bumi. Setelah turun penutup/yang terakhir ayat Alquran ini, Rasulullah s a w. pindah ke pangkuan Yang Maha Agung (wafat) setelah beliau menyampaikan amanat dan risalahnya serta menunjukkan manusia kepada ajaran Allah.
Ayat al-Maidah sebagal ayat yang belakangan  diturunkan.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa ayat pada surat Al-­Maidah diturunkan dikala Haji Wada’ adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhary bahwa salah seorang Yahudi pernah datang menghadap Umar Ibu Khattab yang berkata: Amirul Mukminin!, ada sebuah ayat dalam kitabmu yang kalau diturunkan kepada kami golongan Yahudi niscava hari turunnya itu akan kami jadikan sebagai hari besar (ied). Umar bertanya: Ayat manakah yang anda maksudkan? la menjawab: “Firman Allah s. W. t.:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Seraya Umar menjawab: “Demi Allah, Sungguh aku tahu benar tempat diturunkannya ayat tersebut serta saat dimana diturunkan. Ayat tersebut diturunkan pada waktu Rasul s a w. berada di Arafah, Hari Jum’at setelah Ashar”.’) Tegasnya ayat tersebut diturunkan pada suatu hari raya Islam. yang paling besar, yaitu hari raya yang melebihi hari raya lainnya.
Imam As-Sayuthy dalam kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an mengemukakan beberapa persoalan tentang ayat yang pertama dan yang terakhir diturunkan. Beliau menjawab persoalan tersebut de­ngan jawaban yang tepat dapat kami simpulkan sebagai berikut:
Persoalan pertama: Bahwasanya telah diriwayatkan dalam shahih Bukhary Muslim (shahihain), dari hadits Jabir bin Abdillah bahwa ia ditanya: “Ayat Alquran manakah yang pertama diturun­kan? la menjawab:
يا أيها المدثر
la dibantah: “bukan, me­lainkan al-Alaq 1-5.         Lantas ia berkata: “Saya akan menceriterakan kepadamu tentang yang pernah Rasul cerita­kan kepada kami, Rasul s a w. pernah bersabda: “Aku pergi ke Gua Hira dan setelah menetap di sana aku pulang (turun dari bukit) me­nuju lembah aku memandang ke muka dan ke belakang ke kiri dan  ke kanan, kemudian aku memandang ke langit, tiba-tiba nampaklah Jibril dan aku menjadi gemetar. Aku cepat mendatangi Khadijah dan kuperintahkan mereka: “selimutilah aku!”, lalu Allah menurun­kan  ayat          :
يا أيها المدثر
Hadits tersebut menunjukkan bahwa ayat pada surat Al-Muddatsir adalah ayat yang pertama ditu­runkan.
Pendapat tersebut dijawab oleh As-Sayuthy dengan beberapa jawaban, yang pertama: Pertanyaan ini adalah pertanyaan tentang turunnya satu surat secara sempurna. Jelaslah bahwa surat “Al-Mud­datsir” diturunkan secara sempurna sebelum diturunkannya surat “Iqra” (AI-’Alaq) secara sempurna, karena surat al-’Alaq yang pertama diturunkan adalah hanya bagian yang awalnya. Hal ini didukung oleh sebuah Hadits dalam Shahih Bukhary, Muslim, Riwayat Abdullah bahwa is berkata: Saya mendengar Rasulullah s a w. tatkala beliau menceriterakan tentang renggangnya wahyu. Beliau hersabda dalam sebuah haditsnya: “Ketika aku berjalan tiba-tiba aku mendengar suara dari langit dan aku segera melihat ke atas, tiba-tiba Malaikat yang pernah datang di Gua Hira nampak sedang duduk di kursi (ber­ada pada suatu tempat) antara langit dan humi. Akupun segera pu­lang dan segera kukatakan “selimutilah aku” kemudian Allah menu­runkan ayat:
يا أيها المدثر
Dengan adanya kata “Malaikat yang pernah datang ke Gua Hira” menunjukkan bahwa kisah ini (turunnya Al-Muddatsir) adalah lebih belakangan dari kisah Gua Hira (Iqra’ Bismi Rabbika…….)
Imam As-Sayuthy memberikan jawaban berikutnya dalam kitab tersebut yang tidak perlu disebutkan di sini.
Persoalan kedua: Bahwa ayat AI-Maidah yang berbunyi:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Adalah menunjukkan bahwa Agama Islam telah lengkap dan sempurna, karena itu bagaimana mungkin masih turun beberapa ayat yang lain? Itulah sebabnya kami mengatakan bahwa ayat ter­sebut adalah sebagai ayat Alquran yang terakhir diturunkan.
Jawaban tentang pendapat.tersebut adalah: Allah s.w.t. telah menyempurnakan ajaran Islam dengan penjelasan berbagai kewajib­an dan hukum/ketetapan, penjelasan tentang halal dan haram. Segala hal yang dibutuhkan oleh ummat telah dijelaskan oleh Allah s. ww t., juga telah diperinci tentang segala hukum-hukumnya sehing­ga mereka berada di atas landasan yang jelas. Kesemuanya itu bukan berarti menutup samasekali kemungkinan masih turunnya ayat-ayat lain yang berhubungan dengan peringatan dan ancaman dari Allah, dan yang berhubungan dengan peringatan kepada manusia akan ada­nya gejolak yang maha dahsyat di hadapan Tuhan sebagai penegak hukum Yang Maha Bijaksana pada hari tersebut, yaitu suatu hari dimana harta dan anak cucu tidak lagi ada manfaatnya kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang tulus. Berdasarkan uraian di atas sekelompok Ulama telah menegaskan bahkan As­Suddy sendiri mengatakan bahwa setelah diturunkan ayat Al-Maidah tidak lagi akan turun ayat tentang yang halal dan yang haram.
0

Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam

A. Pengertian Sejarah Kebudayaan Islam
Pengertian Sejarah :

  • Menurut bahasa, sejarah berarti riwayat atau kisah. Dalam bahasa Arab, sejarah disebut dengan tarikh, yang mengandung arti ketentuan masa atau waktu.
  • Sebagian orang berpendapat bahwa sejarah sepadan dengan kata syajarah yang berarti pohon (kehidupan).
  • Sedangkan menurut istilah, sejarah adalah kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau.

Pengertian Kebudayaan :
  • Kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal). Budi mempunyai arti akal, kelakuan, dan norma. Sedangkan “daya” berarti hasil karya cipta manusia.
  • Dengan demikian, kebudayaan adalah semua hasil karya, karsa dan cipta manusia di masyarakat.
  • Istilah "kebudayaan" sering dikaitkan dengan istilah "peradaban". Perbedaannya : kebudayaan lebih banyak diwujudkan dalam bidang seni, sastra, religi dan moral, sedangkan peradaban diwujudkan dalam bidang politik, ekonomi, dan teknologi.
  • Apabila dikaitkan dengan Islam, maka Kebudayaan Islam adalah hasil karya, karsa dan cipta umat Islam yang didasarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber hukum dari al-Qur'an dan sunnah Nabi.

Pengertian Islam :
  • Islam berasal dari bahasa arab yaitu “Aslama-Yuslimu-Islaman” yang artinya selamat.
  • Menurut istilah, Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk bagi manusia agar kehidupannya membawa rahmat bagi seluruh alam.

Kesimpulan :
Sejarah Kebudayaan Islam adalah kejadian atau peristiwa masa lampau yang berbentuk hasil karya, karsa dan cipta umat Islam yang didasarkan kepada sumber nilai-nilai Islam.
Unsur Pembentuk Kebudayaan Islam
Diantara unsur yang menjadi bentuk Kebudayaan Islam adalah sebagai berikut:
1. Sistem Politik
2. Sistem kemasyarakatan
3. Ilmu Pengetahuan

1. Sistem Politik
Sistem politik ini meliputi :
a. Hukum Islam
Kebudayaan Islam mencapai puncak kejayaan ketika diterapkannya hukum Islam. Di dalam Islam sumber hukum utama adalah Al Qur’an dan Hadits
b. Khilafah
Setelah Rosulullah saw wafat , orang-orang yang diberi tanggung jawab melaksanakan hukum islam adalah para pengendali pemerintahan. Kedudukan mereka adalah sebagai kholifah atau pengganti saw.

2. Sistem Kemasyarakatan
Terbagi dalam kelompok-kelompok berikut :
a. Kelompok Penguasa
b. Kelompok Tokoh Agama
c. Kelompok Militer
d. Kelompok Cendikiawan
e. Kelompok Pekerja dan Budak
f. Kelompok Petani

3. Ilmu Pengetahuan
  • Pada masa awal Perkembangan Islam, ilmu pengetahuan kurang mendapat perhatian.
  • Ilmu Pengetahuan baru mendapat perhatian pada masa Dinasti Abbasiyah.
  • Pada saat itu banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu dan kebudayaan lain diterjemahkan kedalam bhasa Arab.

B. Wujud / bentuk Kebudayaan Islam
Bentuk atau wujud kebudayaan Islam paling tidak dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu:
1.wujud ideal (gagasan)
2.wujud aktivitas
3.wujud artefak (benda)
     Salah satu tokoh yang dikenal sebagai sejarawan dan dijuluki Bapak Sosiologi Islam adalah Ibnu Khaldun. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam,pengamatan terhadap berbagai masyarakat. Ibnu Khaldun menulis sebuah buku yang berjudul Al’Ibar(Sejarah umum) yang diterbitkan di Kairo tahun 1248 M.Ibnu Khaldun juga dipandang sebagai peletak dasar ilmu sosial dan politik Islam.
1. Kebudayaan Islam yang berWujud Ideal (Gagasan)
  • Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.
  • Wujud kebudayaan ini terletak di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

Kebudayaan Islam yang berwujud ideal diantaranya :
1. Pemikiran di bidang hukum Islam muncul ilmu fiqih.
2. Pemikiran di bidang agama muncul ilmu Tasawuf dan ilmu tafsir.
3. Pemikiran di bidang sosial politik muncul sistem khilafah Islam (pemerintahan Islam) yang diprakarsai oleh    Nabi Muhammad dan diteruskan oleh Khulafaurrosyidin.
4. Pemikiran di bidang ekonomi muncul peraturan zakat, pajak jizyah (pajak untuk non Muslim), pajak   Kharaj (pajak bumi), peraturan ghanimah (harta rampasan perang).
5. Pemikiran di bidang ilmu pengetahuan muncul ilmu sejarah, filsafat, kedokteran, ilmu bahasa dan lain-lain.
Lanjutan : Kebudayaan Islam yang berwujud Ideal (Gagasan)
Di antara tokoh-tokoh yang berperan adalah:
1. Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki (bidang ilmu fiqih).
2. Umar bin Khattab (bidang administrasi negara dan pemerintahan Islam),
3. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd (bidang filsafat),
4. Ibnu Khaldun (bidang sejarah yang sering disebut dengan "bapak sosiologi Islam").

2. Kebudayaan Islam yang berwujud Aktivitas
  • Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Contoh kebudayaan Islam yang berwujud aktivitas atau tindakan di antaranya adalah:
1. pemberlakuan hukum Islam seperti potong tangan bagi pencuri dan hukum razam bagi pezina.
2. penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah (masa khalifah Abdul Malik bin Marwan) memunculkan gerakan ilmu pengetahuan dan penterjemahan ilmu-ilmu yang berbahasa Persia dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Gerakan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah, di mana kota Baghdad dan Iskandariyah menjadi pusat ilmu pengetahuan ketika itu.

3. Kebudayaan Islam Yang Berwujud Artefak (Benda)
  • Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
  • Contoh kebudayaan Islam yang berbentuk hasil karya di antaranya: seni ukiran kaligrafi yang terdapat di masjid-masjid, arsitektur-arsitektur masjid dan lain sebagainya.

Catatan :
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

C. Tujuan Mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam
  1. Mengetahui lintasan peristiwa, waktu dan kejadian yang berhubungan dengan kebudayaan Islam
  2. Mengetahui tempat-tempat bersejarah dan para tokoh yang berjasa dalam perkembangan Islam.
  3. Memahami bentuk peninggalan bersejarah dalam kebudayaan Islam dari satu periode ke periode berikutnya.

D. Manfaat Mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam
  1. Menumbuhkan rasa cinta kepada kebudayaan Islam yang merupakan buah karya kaum muslimin masa lalu.
  2. memahami berbagai hasil pemikiran dan hasil karya para ulama untuk diteladani dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Membangun kesadaran generasi muslim akan tanggung jawab terhadap kemajuan dunia Islam.
  4. Memberikan pelajaran kepada generasi muslim dari setiap kejadian untuk mencontoh/meneladani dari perjuangan para tokoh di masa lalu guna perbaikan dari dalam diri sendiri,masyarakat,lingkungan negerinya serta demi Islam pada masa yang akan datang.
  5. Memupuk semangat dan motivasi untuk meningkatkan prestasi yang telah diraih umat terdahulu.

E. Contoh Kebudayaan Islam
  1. Di bidang Seni : Syair, Kaligafi, Hikayat, Suluk, Babad, Tari Saman, tari Zapin.
  2. Di bidang Fisik : Masjid, Istana, Keraton,
  3. Di Bidang Pertunjukan : Sekaten, Wayang, Hadrah, Qasidah,
  4. Di bidang Tradisi : Aqiqah, Khitanan, Halal Bihalal, Sadranan, Berzanzi,